Saturday, February 28, 2009

revolusi sosial:simalungun Lost

Runtuhnya Daulat Raja Melayu, Karo & Simalungun
Bahagian 1
4 bulan lepas, di kota Surakarta (Solo) digelar Festival Kraton Nusantara untuk kali ke 4. Ini bukan bermaksud menentang pemerintah Republik, tapi sekadar acara menengok balik jati diri orang Nusantara yang mempunyai budaya beragam yang luhur. ‘Kraton’ adalah ‘istana raja’ kira-kira tujuan festival 3 tahunan ini adalah upaya menyatakan bahwa peninggalan kerajaan masa lampau berupa istana, raja, masjid raya maupun adat istiadat adalah sesuatu yang perlu dilestarikan.
Tentu saja jumlah (bekas) kerajaan di seluruh Nusantara sangatlah banyak. Terlalu banyak malahan. Itulah sebabnya dulu di zaman penjajahan, Belanda dengan mudah melakukan praktik adu domba dan memecah belah sesama anak bangsa, sehingga kita tidak bersatu malah bercerai-berai. Benarlah ‘Bersatu teguh, bercerai runtuh’.
Di festival kemarin, tercatat 37 kesultanan yang ikut ambil bahagian. Mulai dari Kesultanan Negeri Serdang di Sumatra hingga Kesultanan Ternate di Maluku.
Sayang, saya nggak bisa datang ke Solo, tak ada waktu...bukan masa cuti sich.
Di Malaysia, raja masih bertahan. Kecuali di beberapa negeri saja (kalo tak salah Melaka, Sabah dan Serawak). Di Jawa, walau raja sudah tak berkuasa sebagai pemerintah satu wilayah taklukan (kecuali di Jogjakarta), tetapi ikatan batin masyarakat dengan (bekas) raja/sultannya adalah masih kuat.
Tetapi hal ini tidak atau kurang terasa di wilayah Sumatra Timur, seakan-akan kesultanan2 Melayu disitu hilang begitu saja....tak nampak bekas-bekasnya. Tentu saja beberapa istana/kraton dan masjid raja maupun keramatnya masih bisa ditemukan, termasuk langgam budaya yang masih tetap hidup dan diamalkan oleh penduduknya. Tetapi gaung maupun ajinya seakan lenyap.
Padahal kira-kira ada 13 kerajaan di pantai timur Sumatra. Dari wilayah Langkat, Deli, Serdang, Asahan, Batubara, Labuhan Batu (Kualuh, Leidang, Panai, Bilah) semuanya di Provinsi Sum. Utara hingga Siak Sri Indrapura di Riau. Tiada berita. Tertelan bumi baknya.
Penasaran? Tentu saja.
Jawabannya ternyata menegakkan bulu roma.
Kesultanan2 Melayu, Urung/sibayak Karo maupun Kerajaan2 Simalungun itu dalam waktu satu malam terhapus dengan paksa oleh satu revolusi yang dilakukan dengan sangat kejam dan lepas kendali.
Itulah Revolusi Sosial di masa tak menentu, saat Republik baru saja berdiri dengan ancaman kemungkinan Belanda untuk kembali menjajah, dan disisi lain para sultan tak cakap mengambil sikap. Dan komunis mengambil kesempatan, dengan dalih ‘daulat rakyat’ mengganyang ‘daulat tuanku’ maka lebih dari 100 bangsawan Melayu, Karo dan Simalungun -termasuk sastrawan Pujangga Baru: Tengku Amir Hamzah (Langkat) - malam itu direnggut paksa nyawanya. Tanah Sumatra Timur malam itu tertumpah basah darah para Tengku dan Tuanku Melayu serta Raja-raja Karo dan Simalungun.
Jika masalalu bisa diulang, setidaknya sebagaimana kesultanan2 di Jawa yang masih bertahan hingga kini, revolusi itu tak seharusnya terjadi. Tak seharusnya darah tertumpah dengan begitu mengerikan.
Tulisan ini tidak untuk meyalahkan sesiapa, tetapi agar kita boleh belajar dari masa silam.
Sekilas Kerajaan-kerajaan Sumatra Timur
(Lihat Jurnal Eastern Sumatra Sultanates Series-untuk lebih lengkapnya)
Sesungguhnya dinasti Melayu di Sumatra Timur adalah keturunan dari percampuran darah suku-suku Batak, Minangkabau, Aceh dan yang paling dominan: unsur-unsur India Selatan (Moghul). Secara garis besar 2 kerajaan tertua adalah Deli dan Asahan. Mengingat wilayah ini merupakan daerah taklukan Aceh, maka Aceh perlu untuk mendirikan 2 pangkalan yaitu di Aru (cikal bakal Deli) untuk bahagian utara, dan Asahan untuk wilayah selatan.
Kesultanan di Sumatra Timur berurut dari yang tertua adalah Deli (sebelumnya bernama Aru) yang bersusur-galur campuran Moghul dengan Aceh, berdiri sekitar 1500 atau bahkan lebih tua lagi karena Negara Kertagama Majapahit mencatat adanya kerajaan Haru (Aru) disamping Pasai dan Temihang.
Untuk memperkuat posisinya Aru melakukan pernikahan dengan Pahang dan mengikat Ulon Janji dengan 4 Raja Urung Karo termasuk pernikahan dengan Putri Nang Baluan Beru Surbakti (anak Datuk Hitam Surbakti, Raja Urung Sunggal). Ini dilakukan mengingat kuasa Aceh kian melemah, sehingga pada tahun 1669 secara resmi Aru memisahkan diri dari Aceh. Setahun berikutnya bagian utara Aru secara resmi mendirikan Kerajaan Langkat (1670) oleh Panglima Deva Shahdan, Datuk Langkat (seorang panglima perang Aru).
Di tahun 1698 terjadi perpecahan keluarga, dimana Tuanku Panglima Padrap secara resmi memisahkan diri dari Aru dan resmi mendirikan Kerajaan Deli (1698), kerajaan baru ini justru lebih berjaya karena Aru kemudian menghilang kebesarannya digantikan Deli.
Pada tahun 1720 perpecahan kembali melanda, kali ini Tuanku Panglima Padrap,Amir Deli 1 (pendiri Deli -sebelumnya bernama Aru) wafat tetapi penggantinya (dari permaisuri Tuanku Ampuan Sampali) yaitu Tengku Umar justru diusir dari Deli oleh saudara beda ibu: Tengku Panglima Gandar Wahid (ia lalu menjadi Amir Deli ke-2).
Tengku Umar membawa ibunda dan saudara2nya ke Serdang dan diangkat oleh datuk2 Sunggal sebagai Yang Dipertuan Besar Serdang, sebagai oposisi Raja Deli. Ia resmi mendirikan Negeri Serdang yang disokong puak Melayu Minangkabau.
Kerajaan tertua kedua adalah Asahan berdiri tahun 1630 sebagai taklukan Aceh. Sultan Iskandar Muda Aceh menikahi Siti Ungu Putri Berinai (Siti Unai) putri dari Raja Halib [al-Marhum Mangkat di-Jambu]/ Raja Simargolang, Dinasti Pinangawan (Batak Melayu), keturunan Raja Batak Angkola yang merupakan penguasa tempatan. Putranya inilah yang resmi sebagai pendiri Asahan.
Sekitar tahun 1868 perpecahan terjadi dalam keluarga Raja Asahan karena politik Belanda, sehingga wilayah Asahan yang tak setuju dengan tindakan Belanda memisahkan diri dari Asahan dan menjadi kerajaan tersendiri: Kualuh, Leidang(Ledong), Panai dan Bilah yang karena kecil dan berpenduduk sangat sedikit seringkali membentuk konfederasi bernama Labuhan Batu.
Selain itu di bibir Selat Malaka antara wilayah Asahan dengan Serdang wujud pula suatu enclave 5 kerajaan kecil yang membentuk suatu federasi bernama Batubara. ia merupakan konfederasi 5 kerajaan kecil keturunan Minangkabau yang bermigrasi ke daerah ini pada abad 18 (Tanah Datar/Limapuluh, Indrapura, Pasisir, Labuhan Ruku dan Suku Dua) tetapi bukan merupakan taklukan Asahan.
Jelaslah bahwa sejarah Sumatra Timur diwarnai adanya 4 kerajaan besar yaitu: Deli, Langkat, Serdang, Asahan serta 9 kerajaan kecil di Batubara (5) dan Labuhan Batu (4).
Berikutnya : Sekilas pemerintahan Karo dan Simalungun di Sumatra Timur
Prev: Eastern Sumatra Series: LangkatNext: Eastern Sumatra Sultanates Series : SERDANG

No comments:

Post a Comment